Biografi H Agus Salim
Biografi TokohHaji Agus Salim juga merupakan sosok yang dikenal ahli dalam diplomasi memperjuangkan kedaulatan Indonesia dimata Internasional, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudah Indonesia merdeka. Tak heran bila pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Indonesia kepada Haji Agus Salim. Berikut profil dan biografi Haji Agus Salim.
R.A Kartini dan Haji Agus Salim
Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang.
Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini:
…Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. – Surat R.A Kartini tertanggal 24 Juli 1903
Lalu, R.A Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang putri bersekolah tinggi.
Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, ia menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya.
Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah Belanda sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?
Karir Politik Haji Agus Salim
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya.
Di Arab Saudi juga ia mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.
Dalam biografi Haji Agus Salim diketahui bahwa Haji Agus Salim menikah dengan Zainatun Nahar pada tahun 1912. Dari pernikahannya dengan Zainatun Nahar, Haji Agus Salim memiliki sepuluh anak, walaupun dua di antaranya meninggal waktu bayi.
Anaknya bernama Theodora Atia, Jusuf Taufik, Violet Hanifah, Maria Zenobia, Ahmad Sjauket, Islam Basari, Abdul Hadi, Siti Asia, Zuchra Adiba, Sidik Salim.
Bergabung Dalam Sarekat Islam
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda.
Agus Salim kemudian menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.
Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan HOS Cokroaminoto menolaknya.
Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus.
Biografi Haji Agus Salim
Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto.
Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi HOS Cokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Selain menjadi tokoh SI, ia juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku
Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki.
Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya.
Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung oleh Pemerintahan Ir Soekarno.
Menteri Di Kabinet Republik Indonesia
Kepiawaiannya berdiplomasi membuat Sutan Syahrir mempercayai Haji Agus Salim menjabat dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Haji Agus Salim merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda dan beliau wafat pada 4 November 1954 di Jakarta pada usia 70 tahun. Haji Agus Salim pernah menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke-1 yang menjabat dari 12 Maret 1946 hingga 3 Juli 1947 dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3 yang menjabat dari 3 Juli 1947 hingga 20 Desember 1949 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Profil Singkat Haji Agus Salim
Nama: Haji Agus Salim
Lahir: Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884
Wafat : Jakarta, 4 November 1954
Ayah : Soetan Mohamad Salim
Ibu: Siti Zainab
Pasangan: Zaenatun Nahar
Jabatan :
Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke-1 (12 Maret 1949-3 Juli 1947)
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3 (3 Juli 1947- 20 Desember 1949)
Latar Belakang Dan Pendidikan Haji Agus Salim
Haji Agus Salim merupakan anak keempat dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab yang lahir dengan nama Mashudul Haq. Soetan Mohamad Salim adalah seorang jaksa kepala di pengadilan tinggi. Karena kedudukan ayah dan kecerdasan Beliau, Agus Salim dapat dengan lancar belajar di sekolah-sekolah belanda. Beliau bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yaitu sekolah khusus anak-anak Eropa. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan menengahnya ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia dan setelah menjalani pendidikan selama 5 tahun, pada tahun 1903 saat Ia berumur 19 tahun Ia lulus sebagai lulusan terbaik se-Hindia Belanda.
Setelah lulus Ia berharap dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran di Belanda. Namun, saat Ia memohon beasiswa pada pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya tersebut, pemerintah menolaknya tapi dia tidak patah semangat. Kecerdasan yang dimiliki Agus Salim membuat R.A. Kartini tertarik, lalu Kartini mengusulkan agar Agus Salim menggantikannya berangkat ke Belanda dengan cara mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden yang berasal dari pemerintah kepada Agus Salim. Pemerintah pun setuju dengan pengusulan R.A Kartini namun Agus Salim menolaknya, Ia beranggapan bahwa pemberian beasiswa tersebut bukan karena kecerdasan atau jerih payahnya melainkan dari usulan orang lain dan menganggap pemerintah berperilaku diskriminatif.
Karier Politik Haji Agus Salim
Karena gagal melanjutkan pendidikannya, pada tahun 1906 Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja sebagai penerjemah di Konsultan Belanda karena diketahui ia sedikitnya telah menguasai 7 bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Di Jeddah, Ia memperdalam ilmu agama pada pamannya yaitu Syech Ahmad Khatib yang juga imam Masjidil Haram dan disana juga Ia mempelajari tentang diplomasi. Setelah kembali dari Jeddah, Agus salim mendirikan sekolah Hollansche Inlandsche School (HIS) dan kemudian Ia juga masuk dalam pergerakan nasional.
Sejak tahun 1915, Agus Salim terjun di dunia jurnalistik, Ia bekerja sebagai Redaktur II di Harian Neratja lalu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Selanjutnya Ia menikah dengan Zaenatun Nahar, dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai 8 orang anak. Setelah menikah, karier jurnalistik Agus Salim tetap berjalan, Ia menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta, lalu Ia mendirikan Surat kabar Fadjar Asia dan juga Ia menjadi Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu, Agus Salim mengawali kariernya di bidang politik di SI (Sarekat Islam) bersama dengan H.O.S Tjokroaminoto dan juga Abdul Muis. Namun H.O.S Tjokroaminoto dan Abdul Muis yang pada saat itu sebagai wakil SI keluar dari Volksraad, Kemudian Agus Salim menggantikan mereka di lembaga tersebut selama 4 tahun yaitu dari tahun 1921 hingga 1924.Tetapi seperti pendahulunya, Ia merasa bahea perjuangan dari dalam tidak membawa manfaat dan akhirnya ia memutuskan keluar dari Volksraad dan fokus pada Sarekat Islam.
Pada tahun 1923, mulai muncul perpecahan di SI. Semaun mengharapkan bahwa SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, namun Agus Salim dan Tjokroamnoto menolak, Akhirnya Sarekat Islam terbelah menjadi 2. Semaun membentuk Sarekat Rakyat dan berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim dan Tjokroamnoto tetap dengan Sarekat Islam.
Selain menjadi salah satu pendiri Sarekat Islam, Agus Salim juga menjadi salah satu pendiri Jong Islamieten Bond yang membuat suatu dongkrakan guna meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Agus Salim juga pernah menjadi anggota PPKi pada masa kekuasaan Jepang.
Ketika Indonesia merdeka, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karena kepandaiannya dalam berdiplomasi, kemudian Agus Salim diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri di kabinet Syahrir I dan II dari 12 Maret 1946 hingga 3 Juli 1947. Lalu Ia menjadi Menteri Luar Negeri di kabinet Hatta dari 3 Juli 1947 hingga 20 Desember 1949. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi Penasehat Menteri Luar Negeri. Atas prestasinya dalam bidang diplomasi, dengan badan yang kecil Agus Salim dikalangan diplomatik dikenal sebagai The Grand Old Man.
Wafatnya Haji Agus Salim
Agus Salim mengundurkan diri dari dunia poltik lalu pada tahun 1953 Agus Salim mengarang buku-bukunya seperti: Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? .
Pada 4 November 1954 di RSU Jakarta, pada usia 70 tahun Haji Agus Salim meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk mengenang jasanya nama beliau diabadikan menjadi nama stadion sepak bola di Padang bernama Stadion Haji Agus Salim.